Hal Sederhana yang Sering Terlupakan, Sebuah Inspirasi dari “Dare to Dream, Care to Share“.
Artikel ini merupakan satu dari 6 artikel terbaik “Dare To Dream, Care To Share” edisi Mei 2015 (Mendidik Anak Bangsa). Artikel ini ditulis oleh Ika N. Listyanti, mahasiswa MA Human Resource Management, Newcastle University.
“Educating the mind without educating the heart is no education at all.” – Aristotle
Saya termasuk salah satu orang yang setuju dengan pernyataan “mengajar dan mendidik adalah dua hal yang berbeda”. Menurut pandangan saya pribadi, mengajarkan sesuatu dapat berlaku pada situasi di mana misalnya saya memberitahu bagaimana cara menjumlahkan angka 2 dengan angka 3 kepada seorang siswa kelas 1 Sekolah Dasar. Sementara mendidik memiliki makna yang lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan hanya membantu orang lain yang sebelumnya “tidak bisa” menjadi “bisa”. Apabila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online(1), mengajar didefinisikan sebagai proses memberikan ilmu pengetahuan atau kepandaian melakukan sesuatu, sementara mendidik memiliki makna berupa proses mengubah sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam upaya mendewasakan melalui pelatihan dan pengajaran. Berdasarkan definisi tersebut, mengajar pada dasarnya merupakan bagian dari proses mendidik, sementara mendidik meliputi menyampaikan informasi dan menanamkan sebuah nilai yang dampaknya lebih bersifat jangka panjang. Bagi saya, mengajar dan mendidik sama pentingnya dalam membentuk kepribadian individu dan membangun karakter sebuah bangsa. Meski demikian, ada satu komponen penting yang menurut saya sangat jelas membedakan konsep mengajar dengan mendidik. Untuk dapat menjadi seorang pengajar, dibutuhkan pengetahuan dalam bidang ilmu yang diajarkan serta metode-metode pengajaran yang efektif sebagai syarat utama keberhasilan proses belajar mengajar. Sementara itu menjadi pendidik berarti tidak hanya perlu memiliki ilmu pengetahuan yang relevan serta kemampuan mengajar, tetapi juga mampu menjadi teladan dan yang terpenting adalah, menjadi inspirasi.
Kata ‘inspiration’ dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary(2) dimaknai sebagai “an influence that producing creative ability; a person or a thing that is the reason why someone creates or does something”. Bagi saya, menjadi inspirasi berarti menjadi sebuah panutan yang mampu menunjukkan wujud dari materi pendidikan itu sendiri melalui sikap dan tingkah laku, sehingga peserta didik dapat termotivasi untuk menjadi individu yang lebih baik. Saya sendiri belum pernah, atau lebih tepatnya belum berkesempatan memiliki pengalaman sebagai pendidik, namun saya pernah menjadi seorang peserta didik. Periode di mana saya menjadi peserta didik inilah yang selalu membuat saya merasa beruntung karena dapat memilih inspirasi saya sendiri dan menjadikannya semangat untuk terus melangkah mengejar mimpi-mimpi saya. Pendidik utama yang menjadi inspirasi saya tentunya adalah ayah dan ibu saya yang bagi saya, merupakan teladan sepanjang masa, bahkan hingga kini setelah saya bekerja dan melanjutkan pendidikan ke jenjang magister.
Tidak hanya itu, sebut saja Bapak Anies Baswedan yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kebudayaan. Meskipun saya belum berkesempatan mengenal beliau secara pribadi, melalui gerakan Indonesia Mengajar yang beliau gaungkan beberapa tahun terakhir saya tersadarkan akan tanggung jawab untuk ikut terlibat dalam mendidik adik-adik kita yang akan menjadi penerus bangsa ini di kemudian hari. Melalui konsep yang beliau sebarkan ini pula, saya memahami bahwa menjadi pendidik dapat dimulai melalui menginspirasi. Para pendidik dengan gelar Magister dan Doktor-nya tentu akan memiliki keahlian dan spesialisasi tersendiri dalam mendidik, namun bukan berarti seorang pemuda tanpa pengalaman bekerja yang baru saja lulus dari bangku kuliah tidak mampu menjadi pendidik. Perjuangannya dalam menempuh Ujian Nasional hingga dapat lulus dari jenjang Sekolah Menengah Atas, usahanya untuk meraih satu kursi di perguruan tinggi, serta suka dan dukanya dalam menyelesaikan seluruh tanggung jawab di bangku kuliah seperti tugas-tugas, ujian, dan skripsi adalah bagian dari cerita inspiratif yang ingin adik-adik kita dengar, pengalaman nyata yang mereka butuhkan untuk membuat setiap cita-cita dan semangat mereka tetap hidup di tengah berbagai keterbatasan. Pemikiran inilah yang mendasari keinginan saya untuk bergabung dalam kegiatan ‘Kelas Inspirasi Jakarta 3’ dan ‘Kelas Inspirasi Bogor 2’ pada tahun 2014 lalu sebelum saya berangkat untuk menempuh pendidikan di Inggris. Melihat antusiasme adik-adik di Sekolah Dasar untuk mendengar cerita saya dan menuliskan cita-cita mereka membuktikan bahwa menginspirasi ternyata justru membuka kesempatan saya untuk terinspirasi.
Inspirasi dalam hidup saya juga datang dari seorang dosen yang saya kenal sebagai Prof. Dr. Jeanette Retnasanti Suwantara Murad, atau biasa dikenal oleh mahasiswa sebagai Ibu Jeanette. Beliau adalah pembimbing skripsi saya saat menjalani pendidikan di Fakultas Psikologi UI, dan beliau pula yang menuliskan surat rekomendasi sehingga saya dapat melanjutkan pendidikan Profesi Psikolog.
Dari sosok bersahaja beliau lah saya memahami makna pengabdian seorang pendidik sejati, karena bahkan hingga di hari-hari terakhir beliau sebelum mengalami sakit dan meninggal dunia pada tahun 2011 lalu, beliau masih menyempatkan diri mengajar di kelas dan membimbing penelitian mahasiswanya. Beliau sangat memahami bahwa saya adalah mahasiswa bimbingan beliau yang paling memiliki masalah dengan kepercayaan diri, sehingga di hari ketika saya akan menghadapi sidang skripsi, beliau sudah duduk di belakang meja pada jam 7 pagi itu, tepat satu jam sebelum sidang saya dimulai. Beliau sangat sabar mendengarkan kekhawatiran-kekhawatiran saya dan hanya mengatakan pada saya kalimat sederhana yang tidak akan pernah saya lupakan, yaitu “Penelitian ini milik kamu, kamulah yang paling mengerti. Dosen penguji akan bertanya justru karena mereka ingin tahu.” That is the point, penguji sidang bertanya karena mereka ingin tahu. Hal ini kemudian mengubah persepsi saya mengenai banyak hal dan berhasil membuat saya melihat segala sesuatu dalam perspektif yang lebih positif.
Sayangnya, tidak semua anak Indonesia berkesempatan untuk memiliki “inspirasi” nya sendiri. Saat ini, saya mampu menapakkan kaki di negara Inggris, memberanikan diri berkompetisi dengan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai negara dan menunjukkan bahwa anak Indonesia layak menyetarakan diri dengan mereka yang berasal dari negara-negara maju karena saya berangkat untuk sebuah mimpi, dengan membawa serta inspirasi saya. Di Inggris pula saya berkesempatan mempelajari bagaimana budaya negara maju membentuk karakter warganya melalui pendidikan, dan saya berpandangan bahwa anak-anak Indonesia membutuhkan inspirasi khususnya terkait dengan tiga aspek, yaitu berani berbeda, berani tampil, dan berani gagal.
Sejak kecil, kita seringkali dibiasakan dengan budaya konformitas. Saya yakin bahwa banyak di antara kita yang ketika Taman Kanak-Kanak diminta menggambar sebuah pemandangan, maka komposisi gambar akan cenderung sama, yaitu dua buah gunung dengan matahari di antaranya, kemudian dilengkapi dengan jalan dan sawah. Saat ini Indonesia membutuhkan kader-kader yang mampu membawa perubahan, sekalipun hal itu berbeda dari pendapat orang lain pada umumnya. Hal tersebut berarti bangsa ini membutuhkan sumber daya manusia yang berani mengajukan ide-ide yang baru dan berbeda. Tidak hanya itu, pada umumnya kita juga cenderung lebih fokus melihat kekurangan kita dibandingkan dengan mengingat kelebihan yang kita miliki. Padahal tanpa kita sadari, seringkali kekurangan kita, bahkan ketika hal itu membuat kita terlihat “berbeda” dari orang lain, justru adalah kekuatan yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain. Bayangkan ketika kita diminta untuk menuliskan daftar kelebihan kita dalam sebuah kolom dan kekurangan kita pada kolom lainnya. Berapa banyak dari kita yang akan memiliki daftar lebih banyak pada kolom ‘kelebihan’? Menjadi pribadi yang reflektif dan introspektif adalah hal positif, namun bukan berarti kita terlalu fokus pada kekurangan kita sehingga menghambat potensi yang kita miliki.
Hal lain yang juga penting dimiliki oleh calon-calon penerus bangsa ini adalah berani tampil. Hal yang saya maksud di sini tentunya tidak selalu berarti berada ‘di pentas’, tetapi juga berani ‘stand out from the crowd’. Jika kita mengingat kembali masa-masa sekolah dahulu, bayangkan berapa banyak dari kita yang berani mengacungkan tangan ketika guru kita bertanya, “Siapa yang berani menjawab soal ini di depan kelas?” atau “Siapa yang bersedia menjadi ketua kelas?”. Adik-adik kita menunggu cerita-cerita kita, para pelajar Indonesia yang berani melangkah keluar dari zona nyaman-nya, berjuang mencari beasiswa, atau terlibat dalam kompetisi ilmiah di negara lain karena berani “menjemput” kesempatan yang ada sebelum orang lain juga bergerak mengambil kesempatan itu. Saya sangat yakin bahwa banyak anak Indonesia yang memiliki kemampuan dan potensi, namun tidak termaksimalkan hanya karena mereka lebih memilih untuk ‘membiarkan orang lain yang maju karena dia terlihat lebih baik’. Tetapi bagaimana jika mereka yang tidak mengacungkan tangan sesungguhnya adalah yang lebih baik?
Aspek terakhir yang juga penting dalam pandangan saya adalah berani gagal. Saat ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita mendengar kasus siswa yang bunuh diri karena gagal dalam Ujian Nasional. Terlepas dari masih belum optimalnya sistem pendidikan, sejak kecil kita dibiasakan dengan rasa takut akan sanksi sosial jika kita gagal. Kita takut dikucilkan, dianggap bodoh, dan lain sebagainya. Faktanya, berapa banyak orang-orang sukses yang kita kenal yang pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya? Sebut saja Steve Jobs atau Mark Zuckerberg. Hal yang membedakan mereka dengan kita adalah keyakinan untuk memperbaiki keadaan, melihat celah kesempatan, dan mempertahankan harapan. Adik-adik kita menunggu cerita kita, yang pernah bangkit dari kegagalan, bertahan karena sebuah harapan, dan mampu memanfaatkan kesempatan, karena seharusnya kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan, kegagalan kita mungkin justru akan menjadi cerita inspiratif kita di masa depan.
Mimpi saya sederhana. Seandainya kita semua, pemuda-pemudi Indonesia, ikut bergerak menjadi inspirasi untuk adik-adik kita, bisakah terbayang berapa banyak “Kelas Inspirasi” yang mampu kita hasilkan? Berapa banyak siswa SD yang akan mendapatkan “inspirasi” nya? Berapa banyak guru yang akan terbantu? Berapa banyak pemimpin besar yang akan lahir untuk bangsa ini di 20-30 tahun mendatang? Tapi saya tidak ingin tulisan ini dianggap sebagai pedoman, karena saya bukan orang yang paling paham, pintar, apalagi berpengalaman. Tulisan ini hanya sebuah undangan, karena seperti yang dikatakan Bapak Anies Baswedan, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Ya, mereka menunggu cerita kita.
Jadi, siapkah teman-teman menebar inspirasi?
Referensi:
(2) Oxford Learner’s Pocket Dictionary (2008), Oxford: Oxford University Press
Sumber : http://ppiuk.org/